Agama dan budaya, 2 topik yang tak akan mati meskipun kita telah membahasnya berulang kali. Indonesia merupakan negara yang mempunyai kenakegaraman suku, budaya, dan agama. Indonesia mempunyai keanekaragaman yang berbeda salah satunya disebabkan oleh faktor geografis. Indonesia pun terkenal akan keramah-tamahanya. Era global atau globalisasi perlahan mengikis kebudayaan lokal yang sudah jarang kita lihat di masyarakat perkotaan. Tanpa kita sadari, kita menjadi faktor tersebut yang melupakan budaya. Apakah anda kenal dengan tetangga anda sendiri? Atau hanya untuk tempat berkunjung. 

Ketuhanan yang Maha Esa, itu adalah sila pertama bangsa Indonesia. Tapi seperti apa yang kita lihat, semua mengacu kebenaran atas agamanya sendiri-sendiri. Di Indonesia kini memiliki 6 agama yang diakui oleh negara Kristen, katolik, hindu, budha, islam, konghucu. Kita berbeda-beda, tapi mengapa kita selalu melihatnya dengan pandangan negatif? Bukankah perbedaan jika berkumpul akan menjadi suatu yang unik dan akan menjadi identitas suatu bangsa?.

Kegiatan yang kami lakukan adalah OBOR (Orientation Based On Reflection) dengan tema kesalehan social. Kami Live In selama 5 hari (14-18/7) di desa Donomulyo Malang, 2 hari pertama kami berpencar menuju desa yang mempunyai mayoritas agama disuatu desa yang sekiranya hidup berdampingan dengan agama lain. Agama hindu berada di Wagir, Islam di ponpes syabilahtul rosyad, Kristen dan Katolik di Donomulyo. Kami tinggal bersama warga yang berbeda keyakinan dengan kami. setelah itu kami berkumpul menjadi satu di Donomulyo untuk melanjutkan kegiatan kami dengan membawa pengalaman kami berkumpul dengan warga yang berbeda agama. 

Kami berkumpul di GKJW sumbergenthong donomulyo dengan harapan untuk mencari tahu kenpa warga desa yang memiliki perbedaan agama bisa hiduo rukun dan tidak terjadi konflik seperti yang kita tonton di media selama ini. Sesi pertama dengan 3 narasumber pendeta kris (Kristen), H.Sunar (Islam), P.Tris (Katolik). Mereka mengungkapkan kenapa mereka bisa hidup berdampingan dari dulu sampai sekarang. Mereka menceritakan bahwa pasukan Diponegoro merupakan kakek buyut mereka yang mengungsi didaerah Donomulyo, dan kami terkejut bahwa pasukan yang dibawa oleh Diponegoro tidak hanya beragama Islam melainkan Kristen pun juga. Pernyataan tersebut dilontarkan oleh ketiga narasumber kami, dan itu merupakan fakta sejarah yang mungkin baru pertama kali kami dengar. 

Dan tradisi hidup berdampingan tanpa mengenal agama itupun berlangsung dan bertahan sampai sekarang. Keramahan yang kami rasakan selama didesa selama 5 hari sangat terasa keakraban. Atau mungkin karena setiap kita lewat dan bertemu warga sekitar saling tegur? Apa kita melakukkannya dikota meskipun kita tidak kenal? Hmmm, memang aneh rasanya jika tidak mengenal saling tegur, tetapi itu yang akan menjadi awal sebuah kekeluargaan. Kita bangsa Indonesia memiliki wilayah geografis yang sama, jadi mengapa kita melakukan sebuah batasan dan membangun tembok yang tinggi dengan dasar agama? Padahal kita tahu bahwa dalam agama sendiri meyarankan untuk hidup berdampingan dengan sesamamu bukan seIMAN!! 

Wacana yang sangat ekslusif ketika kita mendengar kata seiman, kenapa bukan “sesame” untuk menjalin sebuah tali persaudaraan. Yahh, begitulah ketika agama dan budaya digunakan untuk kepentingan perseorangan yang tidak bertanggung jawab. Tapi akankah kita menjadi salah satu dari mereka yang  membuat pagar tinggi sebagai pembatas atau kita menjadi bagian yang menciptakan perdamaian tanpa mengenal agama dan suku?
Next
This is the most recent post.
Previous
Older Post

0 komentar:

Post a Comment

 
Top
.